Jika ghirah telah
hilang dari hati, gantinya hanya satu, yaitu kain kafan tiga lapis. Sebab,
kehilangan ghirah sama dengan mati!
Siapa yang tidak pernah mengenal kalimat di
atas? Potongan kalimat dari buku Ghirah
yang ditulis oleh Buya Hamka sedikit banyak memberi gambaran betapa pentingnya
ghirah bagi muslim.
Buku yang diterbitkan oleh penerbit Gema Insani
ini cukup ringkas dan kecil sehingga tidak memakan banyak tempat, pun juga
isinya yang cukup ringan namun penuh makna berhasil ditulis dengan apik oleh
Hamka.
Dibuka tentang ghirah yang berarti ‘cemburu’ dan bukan ‘semangat’ seperti apa yang
orang banyak kira pasca kejadian 411 dan 212. Bab awal buku ini menjelaskan
betapa mendarah-dagingnya rasa cemburu yang dimiliki oleh seluruh suku di
Indonesia. Dari Minang, Banjar sampai Bugis terkenal dengan sifat ini. Sifat
yang cemburu yang dengannya menjaga harga diri dan harkat martabat keluarganya.
Ghirah yang menjadi sebab dicapnya muslim
sebagai fanatic oleh Barat karena kegigihannya dalam menjaga muruah pada diri,
keluarga maupun agamanya. Namun, hakikatnya semua manusia memiliki ghirah,
bahkan tiap daerah memiliki nama atau istilah sendiri untuk menyebutnya. Buku
ini mengupas detil tentang ghirah, definisi sampai sebab yang dimunculkan
dengan adanya ghirah. Penjelasan dan cerita yang disampaikan di buku ini cukup
sederhana tanpa mengurangi maknanya.
0 komentar:
Post a comment