Buku ini berkisah tentang
sebuah negara kecil dan miskin di Afrika bagian tenggara, bernama Malawi. Tahun
2002, banjir besar diikuti kekeringan dan kegagalan panen nyaris melanda di
seluruh negeri. Bencana ini menjadi penyebab awal kelaparan berkepanjangan yang
membunuh ribuan warga. Hasil panen jagung, makanan pokok rakyat Malawi, semakin
hari semakin menurun. Harga jagung di pasaran semakin melambung tinggi dan tak
terjangkau. Sementara itu persediaan jagung di perusahaan pemasaran
pengembangan pertanian milik pemerintah (ADMARC) juga semakin menipis.
Frustasi sosial pun terjadi. Tragedi kelangkaan pangan
terburuk sepanjang sejarah Malawi. Optimisme untuk hidup lama-lama menjadi
sebuah kemewahan bagi warga. Nama-nama bayi yang dilahirkan warga dalam masa
krisis tersebut barangkali bisa menjelaskan tingkat frustasi yang dialami. Ada
anak yang dinamai Malazani (Habisi saja aku), Manda (batu nisan), Mdzingmange
(bunuh diri), bahkan ada orang tua yang memberi nama Phelantuni yang berarti
“cepat bunuh aku”.
Frustasi ini juga yang dialami oleh keluarga William
Kamkwamba. Ayah dan Ibu William adalah seorang petani jagung. Bencana
kekeringan yang parah membuat mereka gagal panen. Dan itu berarti tidak ada
uang untuk menghidupi kebutuhan sehari-hari. William pun harus putus sekolah
ketika SMP karena ketiadaan biaya. Ia menangis ketika ayahnya mengatakan tak
sanggup lagi membiayai sekolahnya. Meski sedih, William tidak putus asa. Ia
justru ingin membuktikan bahwa di tengah kondisi yang serba sulit, ia masih
bisa membanggakan keluarga.
Dan buku Bocah
Penjinak Angin ini menjadi saksi betapa kerja keras yang dilakukan oleh
William akhirnya dibayar lunas dengan sebuah kesuksesan. Remaja putus sekolah
tersebut berhasil membanggakan keluarga bahkan negaranya. Buku ini merupakan
kisah keberhasilan William yang ia ceritakan kepada wartawan AP Bryan Mealer.
Bryan Mealer adalah wartawan yang lama berkutat menulis berita-berita mengenai
Afrika.
Bekerja dan Belajar
Buku ini menceritakan bagaimana setelah putus sekolah,
William tetap rajin belajar mengasah pemikirannya. Sembari membantu ayahnya di
ladang, William meluangkan waktu untuk membaca di perpustakan yang
didirikan Malawi Teacher Training Activity. Di perpustakaan ini, ia
menemukan buku yang nanti akan mengubah total nasib William dan keluarganya.
Judulnya, Using Energy.
Buku itu menarik perhatian William karena di dalamnya berisi
pengetahuan tentang energi yang bisa dimanfaatkan oleh manusia. Ide untuk
menghasilkan pembangkit listrik kemudian muncul. Listrik memang menjadi masalah
di Malawi selain kekeringan dan kelaparan. Tercatat hanya ada dua persen dari
sebelas juta penduduk yang mampu mengaksesnya. Untuk mengakses listrik pun
bukan perkara mudah. Butuh
uang yang mahal dan kesabaran yang ekstra.
Sumber tenaga listrik satu-satunya berasal dari perusahaan
listrik milik pemerintah (ESCOM). Untuk bisa meminta ESCOM mengaliri listrik ke
rumah di kampung William, diperlukan perjalanan sejauh 100 kilometer dengan
menumpang mobil bak terbuka ke ibu kota Lilongwe. Setelah membayar ribuan
Kwacha (mata uang Malawi), beberapa formulir harus diisi. Formulir ini harus
mencantumkan peta menuju rumah tempat listrik akan disambung supaya
petugas ESCOM tidak tersesat. Orang yang meminta pemasangan listrik pun masih
harus membayar biaya kabel dan tiang listrik. Tidak hanya itu, sang pelanggan
harus siap dengan pemadaman listrik yang biasanya dilakukan pemerintah pada
malam hari (halaman 117). Susahnya akses listrik inilah yang membuat mayoritas
warga Malawi menghentikan aktivitas ketika matahari sudah terbenam.
Berangkat dari situ, William memulai serangkaian eksperimen
yang ia pelajari dari buku Using Energy. Salah satunya membuat
pembangkit listrik tenaga angin. Untuk itu, tentu ia harus membuat kincir angin
terlebih dahulu. Setiap hari ia pergi ke tempat pembuangan sampah untuk mencari
rongsokan yang bisa dimanfaatkan sebagai bahan pembuat kincir. Ia memperoleh
kabel bekas, kipas, pipa PVC, baterai radio, sampai rantai sepeda yang semuanya
dirakit di dalam kamarnya.
Upaya ini bukan tanpa hambatan. Ketika ia sedang mencari
rongsokan, anak-anak sekolah mengejeknya dengan sebutan misala, orang
gila. Tetangga-tetangga pun menganggap bahwa ia sudah terlalu frustasi karena
kelaparan. Ibunya pun bahkan marah-marah karena peralatan masak di dapur selalu
hilang digunakan untuk eksperimen William. William tak mendengarkan itu semua.
Bersama dua sahabat karib, Geoffrey dan Gilbert, proyek pembuatan kincir angin
itu terus ia kerjakan. Dibarengi dengan harapan-harapan untuk membanggakan
keluarga dan berguna bagi Malawi.
Usahanya tak sia-sia. Berbulan-bulan setelah berkutat dengan
benda-benda rongsokan, kincir angin pun berhasil dibuat. Kincir angin itu
dipasang di belakang rumahnya. Ketika anak itu hendak memanjat kincir anginnya,
tetangga-tetangga di dekat rumah berkumpul. Sambil mengejek mereka menanti
tingkah apalagi yang akan dilakukan oleh anak berusia 14 tahun tersebut. Angin
berembus kencang dan kincir pelan-pelan berputar semakin kencang. Keajaiban
terjadi! Kincir yang memutar dinamo sepeda bertegangan 12 volt ini mampu
menyalakan lampu neon yang dipasang William.
Para penduduk yang tadi mengejek pun terdiam dan menjadi
saksi bahwa “kegilaan” William terbukti berhasil. Setelah eksperimen awal
tersebut berhasil menyalakan lampu neon, William kemudian mampu mengalirkan
listrik untuk menerangi rumahnya. Tetangga-tetangganya pun berdatangan sekadar
untuk menumpang men-charge telepon genggam. Tidak hanya itu, ia juga
mampu menyalakan pompa air untuk mengaliri ladangnya. Setelah itu, kabar
mengenai keberhasilan William tersebar ke seantero negeri. Ia bahkan menjadi
pembicara di beberapa konferensi internasional mengenai energi.
Buku ini, menjadi penanda sebuah kisah yang inspiratif.
Sebuah kisah tentang kerja keras yang tak kunjung habis. Kisah seorang anak
yang putus sekolah, nyaris meninggal karena kelaparan parah, namun mampu
bangkit dan menjadi pahlawan bagi keluarga dan negerinya.
Banyak sekali pelajaran yang dapat diambil dari buku yang
menginspirasi khususnya bagi saya ini. Bahwa saat ia tersingkir dari bangku
sekolah ternyata tidak membuat ia patah semangat. Sementara terus bekerja
membantu orangtuanya, William terus belajar. Sejumlah buku fisika dan teknik
listrik dari perpustakaan dilalapnya. Meskipun banyak hal yang tidak ia
mengerti, namun kemauan keras telah membuka jalan kepadanya untuk memahami
hal-hal tersebut. Apa yang sebelumnya dipahami secara samar, dengan studi
pustaka, hal itu menjadi lebih jelas. Kesungguhan itu akhirnya membuahkan
hasil. Ia berhasil mendirikan sebuah kincir angin yang menghasilkan tenaga
listrik. Orang-orang yang semula menganggap William "tidak waras" akhirnya
mengakui kehebatannya. Sukses inilah yang mengantarkan William menghadiri
konferensi TED (Technology, Entertainment and Design). TED adalah sebuah
pertemuan tahunan dimana para penemu, ilmuan dan pencipta, berbagi gagasan dan
ide. Dari apa yang dialami William, kita dapat belajar bahwa keterbatasan dan
kekurangan tidak selalu menghambat usaha atau mimpi seseorang. Sebaliknya
kendala itu sesungguhnya mendorong seseorang untuk lebih kreatif. Barang bekas,
benda-benda rongsokan misalnya, dapat diubah menjadi benda-benda yang lebih
berguna. Bagi William tujuannya adalah satu, membangun sesuatu yang ia percaya
kelak dapat melepaskan keluarganya dari kemiskinan dan kelaparan.
Pencapaian William tidak
diraih dengan mudah. Kewajiban untuk membantu orangtua di ladang, kemiskinan,
dukungan yang minim dari orang-orang di sekitarnya, adalah bukti bahwa mimpinya
sulit untuk dicapai. Namun, keinginan yang kuat telah membalikkan keadaan itu. William
pun menjadi sumber inspirasi bagi orang-orang di desanya. Ia tidak banyak
bicara. Namun karyanyanyalah yang berbicara dan menunjukkan siapa William
sesungguhnya. Selain sepak terjang William, buku ini juga mengisahkan selintas
mengenai Afrika secara antropologis. Kepercayaan tradisional Afrika ternyata
menjadi salah satu penghambat kemajuan. Sihir dan tahayul lebih sering
mendapatkan tempat lebih luas dalam jalan pikiran mereka ketimbang hal-hal yang
rasional. Sementara itu, dari dunia politik, diceritakan selintas dalam buku
ini bagaimana lembaga-lembaga resmi di negeri itu telah melakukan korupsi yang
tidak tanggung-tanggung. Akibatnya kemiskinan kian meluas. Pemerintah yang
tidak memedulikan rakyatnya turut memperparah kondisi ini. Namun, mimpi dan
semangat perubahanlah yang dapat merombak keadaan.