Deru liar angin semilir, berdendang
riang bagai si pandir
Bedaya berlenggok hulu ke hilir, panggung
pentas bagai bersyair
Hingga malam habis gelapnya, hingga
budaya hilang bayangnya
Panggung sandiwara bak pekat jelaga,
rumah singgah bagai kelam tembaga
Aku masih dalam tapa memendam rasa
Aku geram terus memendam ribuan
tanya
Kepada sebuah mulut kepada sepasang
bibir
Kepada sepotong lidah yang kerap
mencibir
Hempas rampas sekak retak sastra
pertiwi
Jerit marit darah marah rindu berkarya
Rudal membrutal menggumpal mengepal
pejuang budaya baca
Petatah petuah perlahan kehilangan
esensi edukasi
Ajaran moral klasik krisis apresiasi!
Masihkah kau terhanyut dalam buai
ilusi?
Masihkah kau termenung saat budaya
literasi punah diatas menghamba?
Masihkah kau terdiam saat segala
budaya literasi binasa diatas ditinda?
Sungguh, ini hanya persoalan praktis
Budaya bangsa berbasis materialistis
tetap eksis
Budaya bangsa berbasis edukasi mulai
meringis
Jiwa muda terhanyut jahanam picik
yang telah nampak tertulis
https://steller.co
Kau menutup mata tak ingin buta
Kau bungkam tak ingin terbungkam
Kau menunduk tak ingin membusuk
Kau hanya berserah seolah pasrah
Wahai jiwa sadarlah...
Bagaimana jika samar adalah jelas
yang menyamar?
Bagaimana jika salah adalah benar
yang meyalah?
Bagaimana jika tanya adalah jawab
yang menanya?
Sungguh, kau bukan tunas yang mudah
goyah dan lemah
Kau bukan jiwa yang sekali tekak
akan rebah
Kau sanggup berdiri sigap merentak,
walau beban mencekung pundak
Wahai jiwa,
Kumohon jangan menanti penghabisan
mencekik!
Karena penghuni ibu pertiwi tak
henti bertempik
Berhentilah merangkaki dinding buta
Karena tak satu pun pintu terbuka
Kecuali dengan membaca...
Aku merindukanmu, melukismu dalam
mimpiku
Aku mengharapkanmu, menulismu dalam citaku
Aku berjuang mewujudkanmu, wahai
engkau bineka bangsaku
Aku selalu menghadirkanmu dalam
doaku, wahai engkau gemilang bangsaku
0 komentar:
Post a Comment