Belakangan,
linimasa di berbagai sosial media sedang diributkan perihal pengumuman SNMPTN.
Jujur, aku
memang tidak memiliki pengalaman yang mumpuni terkait penolakan pada hasil
SNMPTN. Tetapi berbekal beberapa penolakan pada kasus lain yang pernah kualami
sebelumnya, setidaknya itu dapat dijadikan modal untuk berbagi melalui tulisan
ini.
Pada dasarnya,
manusia memang tidak menyukai penolakan. Otak menerima penolakan sebagai sebuah
impuls rasa sakit sehingga tidak heran jika kita merasa tidak nyaman ketika
mendapatkan penolakan. Harapan adalah ruh yang mengisi ambisi seseorang.
Manusia membutuhkan ambisi untuk menjadi
penunjuk, jalan mana yang sejatinya akan dia pilih. Ambisi dalam hal ini bukan sesuatu
dengan konotasi negatif yang menyebabkan seseorang menjadi buta arah dan
menghalalkan segala cara untuk meraih tujuan. Aku membicarakan ambisi dalam makna
keinginan besar seseorang untuk mencapai sesuatu.
Kembali kepada
harapan dan penolakan tadi, atas semua paduan lengkap tersebut, maka
terbentuklah keterkaitan mengapa seseorang begitu menyukai harapan meski kadang-kadang
harapannya sedikit irasional. Lucunya, ia tetap merasa sakit ketika harapan
tersebut pada akhirnya tidak menemukan titik terang pencapaian meski telah disadari
sejak awal bahwa harapan itu bersinggungan dengan realitas yang ada. Barangkali,
ada yang bertanya-tanya mengapa mekanismenya harus berjalan seperti itu. Jawabannya
sederhana saja, sebab manusia membutuhkan harapan untuk tetap bertahan.
Yang menjadi
persoalan serius dari fenomena terkait harapan dan penolakan itu sendiri adalah
bagaimana seseorang mengelola keduanya agar tetap pada proporsi yang seimbang.
Harapan diperlukan, namun akan menjadi penyakit jika tidak mampu dikelola
dengan baik. Menciptakan ekspektasi dan mimpi yang tinggi memang diperlukan. Sebagaimana
yang diucapkan oleh Soekarno, tidak masalah jika kau membuat harapan setinggi
langit sebab jika suatu saat nanti kau terjatuh, maka kau akan tetap terjatuh
di antara bintang-bintang.
Harapan dan
mimpi yang tinggi memang amat diperlukan. Sebab pencapaian yang besar sendiri dimulai
dari mimpi yang besar pula. Namun, yang perlu ditekankan dalam hal ini adalah,
apakah kita mau mengeluarkan usaha sebesar mimpi yang kita tanam? Apakah kita
telah siap menghadapi konsekuensi berat yang akan kita jumpai ketika kita
hendak berjumpa dengan mimpi besar yang telah dideklarasikan tadi?
Kebanyakan orang
hanya sibuk berencana untuk kesuksesan dari mimpi-mimpinya saja. Yang ada di
depan matanya hanya persoal hasil
sehingga seringkali mengabaikan proses panjang yang ia jalani. Setiap orang
suka memperoleh hasil yang sesuai dengan standarnya, itu manusiawi. Namun, jika
seseorang hanya terbelenggu dalam standarnya sendiri hingga tidak mampu
menghargai pelajaran selama proses yang ada, itu hanya akan menuntun pada ketidakpuasan
dan pahitnya kekecewaan.
Selama masa
kejatuhan itu, ia hanya akan bertanya-tanya, lantas untuk apa proses panjang
yang dia jalani selama ini, jika pada akhirnya hanya akan menuai kegagalan di
titik darah penghabisan? Ia melupakan satu fakta bahwa sejatinya, Tuhan
memberikan sesuatu yang dia butuhkan, bukan hanya sekadar yang ia inginkan.
Keinginan bersifat fana dan kefanaan adalah definisi dari dunia itu sendiri.
Dunia ini terlalu tidak berharga untuk dijadikan jaminan bagi mereka yang
disayangi Tuhan. Atas dasar itulah, Tuhan menggiring kita pada zona yang kita
butuhkan—namun barangkali belum kita sadari urgensinya.
Orang-orang
mendeklarasikan betapa penting usaha dan doa, namun melupakan formula penting
bahwa berserah diri juga amat diperlukan. Berserah diri adalah dongkrak yang
akan membangkitkan seseorang ketika dilanda kekecewaan. Berserah diri itu
penting, agar seseorang tak senantiasa dijadikan budak oleh nafsu dan ambisinya
sendiri.
Kembali kepada
kasus terkait penolakan SNMPTN atau penolakan-penolakan lain, aku ingin
mengajak teman-teman Inspirers untuk tidak sekadar mengandalkan kekuatan diri
sendiri. Yuk, libatkan Tuhan. Yuk, senantiasa bersyukur meski keputusan yang
Tuhan pilihkan untuk kita tidak sesuai dengan standar yang kita mau. Meski,
tidak berjumpa dengan pengabulan, sejatinya, kita telah memperoleh hal yang
lebih besar dari pencapaian standar itu sendiri.
Pengalaman pahit cenderung
mampu memberikan kita pelajaran mendalam terkait sesuatu yang tidak akan mampu
kita pahami hanya dengan membaca buku motivasi. Pengalaman pahit ditujukan
untuk mematahkan hatimu sejenak, lantas membiarkanmu bergelung dalam proses
pendewasaan agar lebih kuat dalam menjalani kerasnya kehidupan.
Jadi, mari,
belajar menikmati proses. Mari belajar libatkan Tuhan dalam setiap upaya yang
kamu lakukan untuk mencapai mimpi-mimpimu.
Percayalah bahwa
rencana Tuhan akan jauh lebih indah. Jika hingga saat ini, kamu merasa bahwa
rencana itu belum menjadi indah, itu adalah pertanda bahwa rencana Tuhan belum
selesai sampai di situ.
Jadi, bersabarlah.
0 komentar:
Post a Comment