Saturday, 28 April 2018

Penolakan, Harapan, dan Penyerahan Diri


Belakangan, linimasa di berbagai sosial media sedang diributkan perihal pengumuman SNMPTN.

Jujur, aku memang tidak memiliki pengalaman yang mumpuni terkait penolakan pada hasil SNMPTN. Tetapi berbekal beberapa penolakan pada kasus lain yang pernah kualami sebelumnya, setidaknya itu dapat dijadikan modal untuk berbagi melalui tulisan ini.

Pada dasarnya, manusia memang tidak menyukai penolakan. Otak menerima penolakan sebagai sebuah impuls rasa sakit sehingga tidak heran jika kita merasa tidak nyaman ketika mendapatkan penolakan. Harapan adalah ruh yang mengisi ambisi seseorang. Manusia membutuhkan ambisi untuk  menjadi penunjuk, jalan mana yang sejatinya akan dia pilih. Ambisi dalam hal ini bukan sesuatu dengan konotasi negatif yang menyebabkan seseorang menjadi buta arah dan menghalalkan segala cara untuk meraih tujuan. Aku membicarakan ambisi dalam makna keinginan besar seseorang untuk mencapai sesuatu.

Kembali kepada harapan dan penolakan tadi, atas semua paduan lengkap tersebut, maka terbentuklah keterkaitan mengapa seseorang begitu menyukai harapan meski kadang-kadang harapannya sedikit irasional. Lucunya, ia tetap merasa sakit ketika harapan tersebut pada akhirnya tidak menemukan titik terang pencapaian meski telah disadari sejak awal bahwa harapan itu bersinggungan dengan realitas yang ada. Barangkali, ada yang bertanya-tanya mengapa mekanismenya harus berjalan seperti itu. Jawabannya sederhana saja, sebab manusia membutuhkan harapan untuk tetap bertahan.

Yang menjadi persoalan serius dari fenomena terkait harapan dan penolakan itu sendiri adalah bagaimana seseorang mengelola keduanya agar tetap pada proporsi yang seimbang. Harapan diperlukan, namun akan menjadi penyakit jika tidak mampu dikelola dengan baik. Menciptakan ekspektasi dan mimpi yang tinggi memang diperlukan. Sebagaimana yang diucapkan oleh Soekarno, tidak masalah jika kau membuat harapan setinggi langit sebab jika suatu saat nanti kau terjatuh, maka kau akan tetap terjatuh di antara bintang-bintang.

Harapan dan mimpi yang tinggi memang amat diperlukan. Sebab pencapaian yang besar sendiri dimulai dari mimpi yang besar pula. Namun, yang perlu ditekankan dalam hal ini adalah, apakah kita mau mengeluarkan usaha sebesar mimpi yang kita tanam? Apakah kita telah siap menghadapi konsekuensi berat yang akan kita jumpai ketika kita hendak berjumpa dengan mimpi besar yang telah dideklarasikan tadi?

Kebanyakan orang hanya sibuk berencana untuk kesuksesan dari mimpi-mimpinya saja. Yang ada di depan matanya hanya persoal hasil sehingga seringkali mengabaikan proses panjang yang ia jalani. Setiap orang suka memperoleh hasil yang sesuai dengan standarnya, itu manusiawi. Namun, jika seseorang hanya terbelenggu dalam standarnya sendiri hingga tidak mampu menghargai pelajaran selama proses yang ada, itu hanya akan menuntun pada ketidakpuasan dan pahitnya kekecewaan.

Selama masa kejatuhan itu, ia hanya akan bertanya-tanya, lantas untuk apa proses panjang yang dia jalani selama ini, jika pada akhirnya hanya akan menuai kegagalan di titik darah penghabisan? Ia melupakan satu fakta bahwa sejatinya, Tuhan memberikan sesuatu yang dia butuhkan, bukan hanya sekadar yang ia inginkan. Keinginan bersifat fana dan kefanaan adalah definisi dari dunia itu sendiri. Dunia ini terlalu tidak berharga untuk dijadikan jaminan bagi mereka yang disayangi Tuhan. Atas dasar itulah, Tuhan menggiring kita pada zona yang kita butuhkan—namun barangkali belum kita sadari urgensinya.

Orang-orang mendeklarasikan betapa penting usaha dan doa, namun melupakan formula penting bahwa berserah diri juga amat diperlukan. Berserah diri adalah dongkrak yang akan membangkitkan seseorang ketika dilanda kekecewaan. Berserah diri itu penting, agar seseorang tak senantiasa dijadikan budak oleh nafsu dan ambisinya sendiri.

Kembali kepada kasus terkait penolakan SNMPTN atau penolakan-penolakan lain, aku ingin mengajak teman-teman Inspirers untuk tidak sekadar mengandalkan kekuatan diri sendiri. Yuk, libatkan Tuhan. Yuk, senantiasa bersyukur meski keputusan yang Tuhan pilihkan untuk kita tidak sesuai dengan standar yang kita mau. Meski, tidak berjumpa dengan pengabulan, sejatinya, kita telah memperoleh hal yang lebih besar dari pencapaian standar itu sendiri. 

Pengalaman pahit cenderung mampu memberikan kita pelajaran mendalam terkait sesuatu yang tidak akan mampu kita pahami hanya dengan membaca buku motivasi. Pengalaman pahit ditujukan untuk mematahkan hatimu sejenak, lantas membiarkanmu bergelung dalam proses pendewasaan agar lebih kuat dalam menjalani kerasnya kehidupan.

Jadi, mari, belajar menikmati proses. Mari belajar libatkan Tuhan dalam setiap upaya yang kamu lakukan untuk mencapai mimpi-mimpimu.

Percayalah bahwa rencana Tuhan akan jauh lebih indah. Jika hingga saat ini, kamu merasa bahwa rencana itu belum menjadi indah, itu adalah pertanda bahwa rencana Tuhan belum selesai sampai di situ.

Jadi, bersabarlah.
Share:

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Young Inspirer | Powered by Blogger Design by ronangelo | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com